dalam penampilannya. Dalam kalimat ini “Gue ga mau fitness
logis. Kemudian di premis berikutnya ia mematahkan premis
dari kenyataan yang lazim ditemui di masyarakat.
Humor verbal pada dasarnya merupakan suatu bentuk permainan
kata atau permainan bahasa.Hal ini dapat diteliti seacara
linguistik sebagai salah satu cabang ilmu yang meneliti
fenomena kebahasaan. Linguistik memiliki banyak anak cabang
ilmu yang dari kesemuanya dapat menciptakan suatu bentuk
humor verbal jika penggunaannya tidak pada tempat semestinya.
Fonologi sebagai ilmu bahasa yang menyibukkan diri dengan
satuan terkecil kebahasaan, yakni bunyi. Satuan bunyi
terkecil yang disebut dengan fonem merupakan bagian yang
menciptakan bunyi-bunyi yang kemudian kita kenal dengan
susunan alfabet. Lewat teori ini bisa muncul humor verbal
seperti kesalahan pengucapan yang sebenarnya juga merupakan
wilayah psikolinguistik.
Morfologi sebagai ilmu yang menyibukkan diri dengan pembentukan
kata juga dapat menjadi bahan humor verbal. Kesalahan pengucapan
kata atau sering dinamakan “keseleo lidat” atau salah ucap bisa
menjadi bahan humor. Seperti kata salah ucap yang sempat
dilakukan oleh salah satu pembaca berita yang ingin mengatakan “perjumpaan di studio metro TV”, namun terucap olehnya “di
studio “metro mini””. Kata metro mini memiliki makna yang tentu
berbeda sekali dengan metro TV. Lantas hal ini dapat memunculkan kelucuan. Konteks perbedaan makna tadi sebenarnya merupakan
kajian semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang mempelajari
tentang makna tanda kebahasaan. Namun wilayah yang disoroti
adalah wilayah kata yang notabene wilayah morfologi.
Cabang linguistik lain yang juga berpotensi memunculkan humor
verbal adalah Pragmatik, sebuah ilmu yang mempelajari hubungan
suatu tanda kebahasaan didasarkan pada konteks pemakaian,
fungsi dan makna yang ditimbulkan. Pragmatik dan Semantik
masih memiliki ruang lingkup wilayah kajian yang hampir sama,
namun memiliki perbedaan mendasar yang bisa memisahkan jarak
kedua ilmu ini.Geoffrey Leech membedakan kedua bidang ini
dengan batasan bahwa semantik sebagai kajian yang dyadic dan mendefinisikan makna sebagai satuan ciri-ciri tertentu suatu
bahasa dan terpisah dari cara penggunaannya lewat penutur,
petutur, dan konteks, sedangkan pragmatik sebagai kajian
triadic dan membahas makna yang timbul dari suatu tanda
kebahasaan lewat konteks penggunaan bahasa oleh penutur
dan petuturnya.
Contoh materi one-liner diatas merupakan suatu contoh
penerapan konsep pragmatik kebahasaan, dimana premis-premis
yang tersusun menciptakan suatu kesinambungan tetapi makna
yang timbul saling bertentangan dan hal ini hanya dapat
dipahami secara pragmatik. Ketika mendengar premis pertama,
pendengar akan memiliki konsep presuposisi (praduga) yang
lazim sesuai dengan kalimat tersebut serta masih dapat
diterima. Namun pada premis yang mengandung punchline konteks
tersebut dibalikkan dan melanggar maksim relevansi serta
presuposisi yang ternyata tidak terbukti benar secara utuh.
Nah, pelanggaran inilah yang kemudian memunculkan kelucuan.
Fenomena-fenomena yang lazim terjadi di masyarakat sering
kali menjadi bahan paracomic untuk suguhan humornya.
Seperti yang dilakukan raditya dika dalam salah satu
kesempatan stand up comedy-nya. Berkut saya berikan
transkripsinya:
“Gue paling ga ngerti dengan Sm*sh terus terang,
pertama kali gue ngelihat sm*sh, ada tujuh orang
laki-laki, ya semi laki-laki, dia nyanyi-nyanyi
kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu, lo jangan
-jangan hepatitis! gitu gue pikir jangan jangan,
kenapa ginjalku berdarah, kenapa paru-paruku basah,
gue ga tau..!!! gue ga tau kenapa! Dan yang paling
gue sebelin yah, baju mereka tuh ada yang belahan
dadanya sampai sini (sambil menunjukkan bagian bawah
dada), ada yang udah lihat video klipnya ga? kenapa
hatiku cenat-cenut, belahan dadanya sampai sini.
Lo mau nyanyi apa “menyusui” sebenarnya ga tau!……
Banyak band indonesia yang gue ga ngerti nama bandnya
juga udah aneh-aneh. Ada nama band indonesia yang
namanya Hijau Daun, ada band jazz lain yang namanya
Klorofil. Mungkin mereka manggung satu panggung jadinya Oksigen. Lihat!!! Mereka berfotosintesis!“
Premis-premis yang tersusun diatas mampu menciptakan gelak
tawa penonton yang melihatnya. Secara pragmatik, premis
diatas merupakan bentuk humor yang tercipta karena penggunaan
fenomena bahasa sesuai dengan situasi kondisi namun saling
bertentangan dengan kelaziman fungsi yang terkandung didalamnya.
Bagian pertama ketika Raditya Dika menciptakan humor lewat
candaan lirik lagu smash. Disana lirik lagunya berisi
“kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu”, dipelesetkan
oleh dika dengan menduga personil smash ini terkena penyakit
hepatitis dikarenakan hatinya sering cenat-cenut. Konteks ini
tentu sudah berbeda. Lirik lagu smash tersebut bukanlah mengacu
kepada sebuah penyakit, namun oleh Dika dihubungkan dengan
konteks penyakit, karena masih adanya persinggungan makna antara
kata yang digunakan, yakni cenat-cenut di hati, lantas penyakit
yang sering timbul di bagian hati adalah hepatitis. Maka,
terciptalah humor. Kualitas humor kemudian dinaikkan ketika
ia memberi pernyataan atas tanggapan lirik tersebut dengan
“kenapa ginjalku berdarah? kenapa paru-paruku basah?” dua
pertanyaan ini masih memiliki hubungan dengan premis awal dan
berfungsi untuk menambah rasa humor dari presmis yang ia gunakan.
Premis berikutnya adalah baju. Dika menyinggung personil smash
yang suka berpakaian dengan belahan dada yang terbuka lebar
sehingga menampakkan belahan dada. Ia kemudian menghubungkan
konteks ini dengan menyusui, karena biasanya ibu yang menyusui
membuka salah satu bagian dada pakaian mereka agar dapat
menyusui anaknya. Permainan pragmatis kembali digunakan dika
disini, dimana konteks trend pakaian personil smash dan kebiasaan
ibu menyusui yang memberlakukan pakaian mereka ketika menyusui didudukkan dalam satu wilayah makna pragmatis yang sama.
Premis berikutnya adalah nama kelompok musik. Dika menekankan
lagi permainan semantik (makna) disini, ketika ia menyebutkan
ada band yang bernama Hijau Daun, disisi lain ada band yang
bernama Klorofil. Kedua nama band ini berhubungan dengan ilmu
biologi. Kemudian ia mempelesetkannya dengan proses fotosintesis
yang mungkin muncul jika kedua band ini manggung bersama.
Seperti diketahui bahwa proses fotosintesis terbentuk
dikarenakan adanya proses yang dibentuk oleh cahaya matahari
dengan air dan karbondioksida yang kemudian membentuk klorofil
dan energi. Nah, proses ini yang kemudian disamakan Dika dengan
kedua kelompok musik ini jika seandainya kedua band ini manggung bersama di satu panggung dan kemudian akan terjadi proses
fotosintesis. Kelucuan muncul karena makna pragmatis premis
tersebut tidak mungkin terjadi, namun karena memiliki kesamaan
dalam nama maka ia membuatnya seolah menjadi mungkin.Sehingga terjadilah kelucuan.
Semua jenis humor yang sering dilontarkan para komedian, comic,
pembaca berita atau bahkan sahabat anda ketika berhasil membuat
tertawa para pendengarnya diakibatkan oleh humor yang terbentuk
sebagai akibat pelesetan fungsi bahasa. Permainan kata dan
bahasa yang tidak lazim mampu menciptakan situasi yang
mengundang gelak tawa karena ketidaksesuaian konten yang
dibicarakan terhadap apa yang biasanya terjadi dalam fenomena
kehidupan sehari-hari. Semakin jelaslah kiranya besarnya fungsi
bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya bahasa tidak pernah ada, apakah kita masih mengenal tertawa? masih adakah esensi hidup jika bahasa tak pernah ada?
“Gott gab uns die Sprache, damit wir aneinander vorbeireden koennen“
(Tuhan memberi kita bahasa agar kita dapat berbicara satu sama lain)
Re-Posting from My Blog
hadiahcp.co.cc
My Facebook
Hadiah Turrohmah
My Twitter
@hadiahcp